Oleh: Rizqy Rahmat Hani, Kampus Guru Cikal
“Pernahkah Bapak Ibu merasa sendirian memperjuangkan hak murid penyandang disabilitas?” tanya guru Anggayudha dari Kampus Guru Cikal kepada peserta sosialisasi program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas di Aula Sasana Wiyata, Dinas Pendidikan dan Olahraga, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Jumat, (9/8/2019). Kemudian yang kami dengar adalah cerita-cerita inspiratif dari para guru.
“Saya terkadang putus asa dengan apa yang saya lakukan, namun ketika kembali ke sekolah, melihat senyum, tingkah laku murid membuat saya kembali berpikir, bahwa kalau bukan saya siapa lagi,” ujar seorang guru dalam sesi sosialisasi tersebut.
“Di sekolah saya, kami pernah menerima murid dari sekolah lain, yang tidak sanggup menerima kekurangannya. Coba kalau saya tolak, padahal ia memiliki bakat mendesain baju. Minatnya, mungkin saja akan berhenti. Sekarang ia membuktikan kemampuannya, dengan banyak mendesain baju yang ia buat di sekolah,” ujar yang lain.
Cerita-cerita di awal kegiatan sosialisasi program tersebut, membuat kami menarik diri ke belakang, di mana pertama kali mendapatkan amanah dari para pelari NusantaRun Chapter 6 untuk menjalankan program. Kami sudah menemui banyak pihak, dari guru, murid, kepala sekolah, dinas pendidikan hingga perguruan tinggi. Kesamaanya adalah sama-sama berjalan di jalan sunyi; jalan di mana, tidak semua orang mau menjalankannya. Jalan yang mungkin terjal, namun inilah yang dipilih.
Beberapa kegiatan sudah dilaksanakan, mulai dari workshop pembuatan merchandise, penyerahan merchandise, audiensi ke perguruan tinggi, audiensi ke dinas provinsi, sosialisasi program hingga pelaksanaan pelatihan pertama.
Risna dan Komunitas Guru Belajar Solo Raya
Risna, seorang murid penyandang disabilitas dari sekolah inklusi di kota Surakarta asyik memutar-mutarkan benang menjadi sebuah bentuk benda. Ia terkadang melihat ke depan, di mana ada tiga orang instruktur yang mengajarinya membuat gelang dan bunga.
“Acara workshop ini diselenggarakan oleh Komunitas Guru Belajar Solo Raya untuk mengajak murid-murid penyandang disabilitas di Solo dan sekitarnya memiliki keterampilan tangan dalam membuat merchandise. Hasil dari workshop pembuatan merchandise ini akan diberikan kepada 201 pelari yang akan berjuang sejauh 169 kilometer,” ujar Heni Surya salah satu penggerak Komunitas Guru Belajar Solo Raya yang menginisiasi acara tersebut.
Acara Workshop Pembuatan Merchandise berlangsung tanggal 9 Desember 2018 di MIM Kartosuro. Kegiatan tersebut diinisiasi oleh Komunitas Guru Belajar Solo Raya dan dihadiri oleh 50-an murid penyandang disabilitas dari berbagai sekolah di Solo. Pada kegiatan tersebut, murid-murid dilatih untuk membuat merchandise yaitu gelang dan bunga.
“Kami merinding saat melihat video NusantaRun Chapter 5, di mana pelari mau lari ratusan kilo untuk pendidikan. Dari situ kami merasa tergerak untuk terlibat di chapter 6 ini karena kami percaya pendidikan adalah tanggung jawab bersama,” ucap Heni Surya.
Selain sebagai bentuk apresiasi kepada pelari, kegiatan ini juga memiliki tujuan memberikan bekal kepada para penyandang disabilitas untuk memiliki keterampilan fungsional, salah satunya keterampilan tangan dalam pembuatan merchandise.
Akhirnya setelah kurang lebih tiga jam, gelang dan bunga karya Risna dan teman-temannya, dibawa oleh guru-guru dari Komunitas Guru Belajar Solo Raya ke Gunungkidul, yang menunggu para pelari yang sedang berjuang mencapai garis finish.
Noriko dan SLBN Temanggung
Noriko adalah murid penyandang tuna daksa yang memiliki hobi komputer serta memiliki cita-cita menjadi ahli komputer jika besar nanti. Sore itu, di kursi roda yang sering dipakai di sekolah, ia dibantu Pak Waluya gurunya menuju stand relawan. Matanya berbinar, senyumnya mengembang, dan terkadang ia meminta gurunya untuk mempercepat langkahnya.
“Noriko mau pilih yang mana? Mau membantu kakak-kakak memasang tato penunjuk kilometer? Atau itu (menunjuk) membantu kakak-kakak drop bag ke pelari? Atau yang ini, memberikan formulir daftar ulang ke pelari,” tanya Harry Anggie Tampubolon, salah seorang panitia NusantaRun Chapter 6.
“Aku mau ini aja,” ujar Noriko dengan menunjuk stand bagian formulir. Ia mulai bertugas membantu relawan lainnya yang berasal dari berbagai daerah memberikan formulir kepada pelari.
Noriko adalah satu di antara 12 murid dari SLBN Temanggung yang memilih menjadi relawan NusantaRun Chapter 6 di garis start. Selain Noriko, ada Rizki murid penyandang disabilitas tuna rungu, yang dengan antusias menjadi relawan pemasang tato kilometer. Ia menempelkan kertas putih ke lengan pelari, kemudian menggosok-gosokkannya dan terakhir ia melepaskan kertas putih tersebut. Tato kilometer pun terpasang di lengan pelari.
Lain cerita dengan Noriko dan Rizki, adapun Bagas murid penyandang disabilitas dengan asik memilah ukuran-ukuran kaus. Bagas asyik cerita dengan relawan lainnya tentang pengalamannya menjuarai turnamen futsal di Semarang.
“Malam ini menjadi pengalaman yang sangat berkesan bagi anak-anak. Mungkin besok mereka akan berceloteh dengan teman-temannya di sekolah tentang apa yang mereka alami malam ini,” ujar guru Ina, Kepala SLBN Temanggung kepada tim Kampus Guru Cikal temui.
Kampus Guru Cikal mempertemukan murid-murid SLBN Temanggung kepada pelari yang akan berjuang berlari untuk mereka. Harapannya dalam pertemuan tersebut, para pelari mendapat tambahan energi. Pun dengan murid-murid, bertemunya dengan pelari menjadi semangat tersendiri bagi mereka.
“Di sini, kami mempertemukan dua pihak yang akan terlibat dalam program ini, baik pelari maupun penerima manfaat. Harapannya, pelari semakin berenergi ketika bertemu langsung dengan penerima manfaat. Sama halnya dengan penerima manfaat, semakin semangat nantinya dalam menjalankan program, karena tahu perjuangan penggalang dana,” ujar Manager Program Pengembangan Murid Disabilitas Rizqy Rahmat Hani di Hotel Kledung Pass pada 7 Desember 2019.
SLBN 1 Gunung Kidul dan Komunitas Guru Belajar Solo Raya
Malam itu di tepian Pantai Sepanjang, Gunungkidul sekitar 15 orang sedang mendirikan tenda-tenda, ada 4 tenda yang didirikan, persis di samping lokasi garis finish pelari NusantaRun Chapter 6. Saat saya tanya mengapa mendirikan tenda di lokasi tersebut, salah seorang menjawab, “Ya karena kami ingin menjadi yang pertama menerima pelari. Pelari yang sudah berlari sejauh 169 km akan kami sambut dengan semangat, dengan karya murid disabilitas yang dibuat khusus untuk mereka,” ujar Noer, salah satu guru yang menjadi relawan di garis finish.
Selain guru-guru dari Solo yang akan menyambut pelari, ada 20 murid penyandang disabilitas dari SLBN 1 Gunungkidul. Pelari pertama yang datang diperkirakan datang subuh, maka teman-teman Guru Belajar Solo Raya sudah bersiap di garis finish dengan yel-yel dan atribut yang digunakan.
Benar saja, Suparmin, pelari pertama yang menuju garis finish. Ia langsung disambut dengan yel-yel dan bunga serta gelang yang dibuat murid penyandang disabilitas langsung ia terima. Setelahnya datang juga beberapa pelari.
“Terima kasih..terima kasih pelari NusantaRun
Sudah dukung… sudah dukung Pendidikan untuk Semua”
Begitulah yel-yel dari pagi sampai siang yang terdengar menyambut datangnya pelari.
Ditemui dalam puncak lari NusantaRun Chapter 6 tersebut pada 9 Desember 2018, Puguh salah seorang guru dari SLBN 1 Gunungkidul berujar bahwa banyak murid yang sudah lulus dari SLB bingung mau melanjutkan ke mana. Ia berharap program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas bisa membantu guru untuk menentukan arah karir murid.
Mencari Tempat Belajar untuk Murid Penyandang Disabilitas
Hamzah (32 tahun) seorang tuna netra dari Makassar, mengatakan ia sering menerima komentar negatif dari para guru yang mengeluhkan kinerjanya di kelas tetapi ia tidak pernah mendapatkan dukungan atau materi yang disesuaikan untuk membantu dirinya untuk terlibat.
Meskipun kurangnya dorongan dari gurunya, Hamzah bersikeras untuk mengejar pendidikan tinggi seperti teman-temannya yang tidak cacat, dan bermimpi menjadi guru di sebuah sekolah Islam. Tetapi Hamzah ditolak pada tahun 2003 oleh Fakultas Pendidikan (Tarbiyah) di Alauddin UIN. Dia diberi tahu bahwa orang buta tidak bisa menjadi guru dan institut itu tidak bisa menampungnya. Dia akhirnya diterima di Departemen Sastra Inggris UNM.
Sosok Hamzah yang dituliskan oleh Dina Afrianty, peneliti La Trobe University, Australia dalam artikel berjudul “People with Disability: Locked out of Learning?” adalah salah satu contoh berhasil seorang disabilitas bisa mengenyam pendidikan tinggi. Salah satu yang menjadi tantangan adalah mencari perguruan tinggi yang peduli dengan penyandang disabilitas. Perjalanan Kampus Guru Cikal pun dimulai mencari tempat belajar murid penyandang disabilitas.
Perguruan tinggi yang menjadi kunjungan awal oleh tim Kampus Guru Cikal adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pemilihan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta karena perguruan tinggi tersebut yang menjadi pelopor perguruan tinggi yang memfasilitasi penyandang disabilitas sejak tahun 2007. Pada audiensi tersebut, tim Kampus Guru Cikal diwakili oleh Bukik Setiawan selaku ketua Kampus Guru Cikal dan Rizqy Rahmat Hani selaku ketua program #PendidikanUntukSemua. Audiensi dilakukan di gedung PAU lantai 2 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kami disambut dengan hangat oleh bapak Waryono, selaku wakil rektor bidang kerjasama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Arif Maftuhin selaku ketua Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Keseriusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam menjalankan pendidikan inklusi di perguruan tinggi tidak main-main. Pusat Layanan Difabel menjadi tonggak dalam memperjuangkan pendidikan inklusi. “Mahasiswa difabel belajar bersama mahasiswa lainnya, tidak ada kelas khusus, tidak ada program khusus bagi mereka. Tugas Pusat Layanan Difabel adalah memastikan bahwa proses mereka dalam kegiatan belajar mengajar dan kegiatan akademik yang lain itu dapat terlibat secara penuh. Misalnya kalau ada mahasiswa tuli, kita mengirimkan pendamping, baik berupa no taker maupun juru bahasa isyarat. Misalnya ada mahasiswa tuna netra, kita memfasilitasi mereka untuk mengakses materi-materi kuliah dengan proses digitalisasi. Kita mencoba agar proses menjadi inklusif itu bisa benar-benar dirasakan oleh mahasiswa yang belajar di UIN SUKA,” kata Arif Maftuhin.
Setelah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sasaran kami berikutnya adalah UNS Solo pada 5 Mare 2019. Pada audiensi tersebut, kami bertemu Rektor UNS Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS. Selain bertemu rektor, ada pula Dr. Munawir Yusuf, M.Psi. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Kependidikan dan Asri mewakili Drs. Subagya, MSi (Ketua Pusat Layanan Difabel) yang berhalangan hadir. Ada beberapa cerita yang kami dapatkan saat audiensi tersebut, salah satunya cerita Cindy.
“Kulakukan itu dalam waktu berbulan-bulan, mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari informasi dan partisipasi dari banyak orang yang kiranya memiliki kepedulian kepada kaum difabel. Saat itu, aku hampir saja putus asa. Karena kegiatan itu sedikit banyak memakan jadwal kuliahku. Ditambah lagi tidak banyak orang yang ternyata sulit untuk bekerja sama denganku. Bahkan sebagian memberi syarat yang bagiku berat agar aku bisa mendirikan organisasi difabel,” tulis Cindy Ayu Anggraini, mahasiswa tuna rungu di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) dalam esai yang ia tulis.
Tulisan Cindy mengenai perjuangannya mengaktifkan kembali Gerakan Peduli Indonesia Inklusi (GAPAI) di UNS berhasil menyentuh banyak orang. GAPAI yang ia aktifkan kembali adalah sebuah komunitas mahasiswa yang membantu, memantau, mengidentifikasi mahasiswa difabel di UNS. Misalnya ada mahasiswa difabel yang kesulitan dalam membaca, relawan GAPAI yang akan membantunya dalam membaca.
Di jalan yang sepi, UNS terus berjalan untuk pendidikan untuk semua. Selain mendirikan Pusat Layanan Difabel (PLD) yang kemudian mendirikan Gerakan Peduli Indonesia Inklusi (GAPAI), kiprah UNS dalam mewujudkan pendidikan inklusi tidak main-main. Setiap mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) mendapatkan 2 SKS mata kuliah pendidikan inklusi. Harapannya calon-calon guru dari UNS memiliki bekal pendidikan inklusi ketika menjadi guru nanti dan menerapkan inklusivitas yang didapatkan saat berkuliah.
Program Pengembangan Murid Disabilitas disambut baik. Dr. Munawir Yusuf, M.Psi., menceritakan tantangan yang UNS hadapi selama ini dalam menjalankan pendidikan inklusi salah satunya adalah seleksi calon mahasiswa. Selama ini, ujian masuk mahasiswa difabel ke UNS bersamaan dengan jalur umum, baik melalui SMPTN, SBMPTN dan UM, tidak ada jalur khusus. Setelah melewati ujian tersebut, kemudian calon mahasiswa difabel diwawancara untuk bisa lolos menjadi mahasiswa UNS. Namun menurut Munawir hal tersebut kurang efektif, karena ada beberapa kasus mahasiswa difabel di tahun ketiganya tidak mau kuliah. Program yang ditawarkan Kampus Guru Cikal disambut baik, seperti jembatan murid difabel dan kampus.
“Saya mengapresiasi program ini, program ini seperti jembatan murid difabel dan kampus yang menyediakan layanan pendidikan tinggi. Calon mahasiswa sudah dilatih, lalu diseleksi oleh Kampus Guru Cikal dan siap belajar di perguruan tinggi,” tutur Munawir.
Di Yogyakarta sudah bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga, di Solo sudah dengan UNS, maka untuk daerah utara kami memilih Semarang, kami kemudian mengunjungi Udinus, Semarang.
“Sepuluh tahun yang lalu, ada salah satu orangtua mahasiswa yang meminta anaknya yang notabennya penyandang disabilitas untuk bisa mengenyam pendidikan di Udinus. Kami belum punya pengalaman untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus belajar, namun bagi kami ini tantangan. Akhirnya kami terima, dan kami kemudian mencari cara agar anak tersebut bisa belajar dengan maksimal,” tutur Prof. Dr. Ir. Edi Noersasongko M.Kom Rektor Universitas Dian Nuswantoro Semarang (Udinus) yang kami temui pada Kamis, 16 Mei 2019 di Gedung Rektorat Udinus, Semarang.
Pada pertemuan bertajuk audiensi program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas untuk NusantaRun Chapter 6 ini, Rektor Udinus menceritakan bagaimana Udinus memulai kepeduliannya dengan mahasiswa penyandang disabilitas. Seperti cerita di atas, untuk menghadapi tantangan tersebut Pak Edi meminta beberapa dosennya untuk belajar, membuat riset mengenai penyandang disabilitas. Ternyata, usahanya tidak sia-sia, banyak dosen yang akhirnya tergerak membuat riset mengenai penyandang disabilitas.
Misalnya Muljono S.Si, M.Kom dosen Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) yang mengembangkan Sistem Sintesis Ujaran Audio-Visual (SSUAV) untuk bahasa Indonesia yaitu sebuah sistem yang dapat membangkitkan ujaran audio visual secara simultan dari teks yang diinputkan, sistem tersebut memanfaatkan alat bernama Job Access With Speech (JAWS). Sistem dan alat ini mampu membantu para tuna netra untuk menggunakan komputer. Dalam kerjanya aplikasi tersebut membaca layar komputer dan mampu melafalkan teks.
Selain Muljono, mahasiswa Teknik Biomedis Udinus juga menciptakan kursi roda berteknologi modern yaitu bisa berjalan hanya dengan kendali jari. Dari riset tersebut banyak mahasiswa penyandang disabilitas terbantu, salah satunya adalah Eka Pratiwi Taufanti, mahasiswa jurusan S1 Sastra Inggris Udinus ini berhasil menemukan jalan karirnya sebagai penulis saat belajar di Udinus.
Udinus memang tak main-main dengan apa yang mereka lakukan untuk penyandang disabilitas. Pada tahun 2017, Udinus mengundang perwakilan organisasi dan komunitas difabel untuk mengikuti Focus Group Discussion (FGD) untuk menyusun bahan ajar yang aksesibel bagi mahasiswa difabel netra.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta
“Jadi memang butuh kolaborasi antara guru, pemerintah, dan juga perguruan tinggi. Namun selama ini tidak terjalin. Semoga program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas ini adalah jalan untuk menuju sana,” ujar Maftuhin, Ketua Pusat Layanan Disabilitas Yogyakarta yang kami temui saat audiensi pada bulan Februari.
Pada pelaksanaan program Pengembangan Murid Disabilitas di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, butuh beberapa pihak untuk membuat program tersebut berjalan baik. Selain perguruan tinggi sebagai lembaga yang akan menerima murid penyandang disabilitas, butuh pihak sebagai sistem pendukung murid disabilitas tersebut, yaitu sekolah, guru dan orangtua. Oleh karena itulah, langkah berikutnya yang kami lakukan adalah melakukan audiensi kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah dan Kementrian Agama Kanwil Jawa Tengah. Pada audiensi tersebut, kami juga bertemu dengan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen.
“Saya ingin Jawa Tengah yang menjadi pionir tumbuhnya pendidikan inklusi. Kami ingin mendorong bahwa Jawa Tengah peduli dan tidak membeda-bedakan antara anak yang berkebutuhan khusus dan anak-anak yang normal,” ucap Gus Yasin dalam pertemuan tersebut. Gus Yasin juga menceritakan anak keduanya yang bersekolah di sekolah inklusi di sebuah sekolah di Rembang, terlihat berbeda dalam bersikap. Lebih peduli dan berjiwa sosial.
Apa yang menjadi mimpi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sejalan dengan misi program Pendidikan Murid Disabilitas. Mimpinya sama-sama menciptakan ekosistem pendidikan untuk semua, sehingga apa yang Kampus Guru Cikal presentasikan di depan tiga pihak, langsung disepakati untuk dijalankan bersama.
“Bagaimana kalau kegiatan tersebut kita laksanakan di Balai Pengembangan Pendidikan Khusus, karena kami memiliki gedung BP-Diksus di Jalan Elang. Sehingga kegiatan tiga acara tersebut bisa dilaksanakan di satu tempat. Lebih efisien,” ungkap Dr. Padmaningrum, Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Khusus (Diksus) Dindikbud Jawa Tengah.
Akhirnya kami sepakat untuk mengadakan pelatihan di gedung tersebut. Namun karena kami percaya Guru Merdeka Belajar, belajar bukan karena paksaan, tapi karena kesadaran. Sebelum program berjalan, kami lakukan sosialisasi kepada 120 kepala sekolah baik dari SMALB, ataupun sekolah/madrasah inklusi. Tujuan sosialisasi tersebut, agar para guru tahu tujuan pelatihan. Jika bagi mereka memiliki dampak atau manfaat, mereka bisa mendaftarakan diri secara sukarela. Jadi bukan ikut karena perintah atau paksaan.
“Saya senang sekali dengan program ini. Bahwa benar seorang guru harus belajar dan belajar terus, karena saya ingin sekali mengoptimalkan kembali potensi yang dimiliki oleh anak, biar anak-anak itu bisa,” ungkap Septi Mardianti seorang guru dari SLBN Kota Tegal yang mengikuti kegiatan Sosialisasi Program Pengembangan Murid Disabilitas oleh Kampus Guru Cikal pada Jumat, 3 April 2019 di Gedung B Aula Ki Hajar Dewantara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah yang dihadiri 120 Kepala Sekolah SMA, SMK, MA Inklusi serta SLB di Jawa Tengah. Dari sosialisasi ini ada sekitar 90 guru yang mendaftar dan yang kami terima ada 80 guru yang akan mengikuti program Pengembangan Murid Disabilitas.
Adapun di Yogyakarta, saat audiensi, kami bertemu dengan Kepala Bidang Pendidikan Khusus, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga yaitu Pak Bachtiar pada 24 Juli 2019. Pada kunjungan tersebut, kami mempresentasikan program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas.
Tim Kampus Guru Cikal diwakili oleh guru Anggayudha Anandarasa, guru Rizqy Rahmat Hani dan guru Winda Dyah. Pada kesempatan itu, Kampus Guru Cikal memutarkan video perjuangan pelari, dan apa yang diamanahi untuk dijalankan.
“Saya mendukung program ini karena orientasinya adalah anak. Segera kita adakan sosialisasi kepada guru-guru Yogytakarta,” sambung Pak Bachtiar mengakhiri sesi audiensi program.
Dua minggu setelahnya, pada 9 Agustus 2019 dilaksanakan kegiatan sosialisasi di Ruangan Sasana Wiyata Dindikpora DIY yang dihadiri oleh 70 guru dari SMALB dan SMA/SMK/MA Inklusi Yogyakarta. Guru-guru terlihat antusias mengikuti sosialisasi ini, terlihat dari jumlah pertanyaan mengenai program.
“Programnya akan berjalan berapa? Apa dampak yang akan kami dapat dari program ini? Kalau murid kami apakah bisa ikut?” Masih banyak pertanyaan lainnya.
Sosialisasi ditutup dengan pengisian formulir kesediaan kepala sekolah mengirimkan guru yang akan mengikuti program. Setelah itu, harapannya kepala sekolah memberikan informasinya kepada guru-guru di sekolahnya untuk kemudian dengan kesadaran sendiri mengikuti program.
Pelatihan Assessment Batch 1
“Ini pertama kali saya ikut pelatihan semenyenangkan ini. Tiga hari pelatihan tidak berasa,” ujar Nanik Qomariyah, salah satu peserta Program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas di Jawa Tengah Batch 1.
Program Pengembangan Murid Penyandang Disabilitas dibagi menjadi 3 batch, yaitu 2 batch di Jawa Tengah dan 1 batch di Yogyakarta. Setiap batch, peserta guru akan mendapatkan sejumlah pelatihan antara lain pelatihan assessment (3 hari), pelatihan intervensi (3 hari), dan pelatihan dokumentasi (2 hari).
Pelatihan assessment untuk batch pertama berlangsung di Gedung BP-Diksus Semarang pada 5 hingga 7 Agustus 2019, diikuti oleh 40 guru dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan berbagai sekolah. Pada pelatihan tersebut, guru diajak untuk bisa melakukan pemetaan potensi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“Memang salah satu yang paling menantang bagi guru ialah melakukan assessment,” ujar Vitriani Sumarlis salah satu pelatih dalam pelatihan assessment batch 1.
Selain Vitriani Sumarlis, Kampus Guru Cikal mengirimkan dua pelatih lainnya, yaitu Rizqy Rahmat Hani dan Wienny. Pelatihan dibuka oleh Kepala Bidang Pendidikan Khusus Bapak Djoko Wicaksono.
“Pelatihan ini memberikan saya inspirasi, dari sini saya menjadi terbuka bahwa ternyata assessment adalah hal yang penting. Terima kasih Kampus Guru Cikal,” ujar Drajat salah satu peserta dari Pemalang
Pada pelatihan ini ada beberapa sesi yang dibahas, mulai dari pembahasan mengenai miskonsepsi murid penyandang disabilitas, mengenal ragam-ragam assessment hingga mengajak guru untuk memetakan potensi murid. Setelah pelatihan tatap muka, peserta akan mendapatkan penguatan kembali melalui diskusi di grup WhatsApp.
“Layaknya seorang petani yang menanam bibit tanaman dengan metode yang ia gunakan, maka jika berhasil akan bisa ditiru oleh petani lainnya. Program ini akan berjalan jika ada keterlibatan banyak pihak, baik dinas, sekolah, guru, dan juga masyarakat” Bukik Setiawan, Ketua Kampus Guru Cikal.
Harapannya jika program ini berhasil, akan menjadi contoh baik untuk banyak instansi saling berkolaborasi menciptakan #PendidikanUntukSemua.