Tulisan oleh: Ali Satri Efendi.
Foto oleh: @and_run_to
Saya tidak akan memulai cerita ini dari acara utama NusantaRun 6, tapi berbulan sebelumnya.
Jika NR6 disebut-sebut sebagai sebuah event lari yang unik sesuai yang tertera di website, itu betul. Karena kehebohan NR6 terjadi sejak berbulan-bulan sebelum hari H. Yang membuat demikian justru bukan hingar bingar perayaannya, tapi para peserta yang dengan kegigihan masing-masing berusaha membangun kesadaran untuk peduli terhadap sesama, di mana pada NR6 tahun ini, pendidikan anak-anak disabilitaslah yang menjadi fokus utama. Dengan beragam usaha, para peserta mengajak rekan-rekannya untuk berdonasi dengan cara mengunggah poster-poster kreatif di media sosial, membuat bermacam-macam merchandise, beragam kampanye, sampai japri ke teman-teman tertentu. Semua atas dasar demi pendidikan anak-anak Indonesia yang lebih baik.
Saya sendiri baru tahu perbedaan difabel dan disabilitas itu setelah diterima sebagai peserta half course NR6. Kedua kata tersebut bisa dipakai bergantian, perbedaannya hanya pada konteks. Di mana difabel mengacu pada subjek, sedangkan disabilitas mengacu pada lingkungan. Tapi di balik ragam istilah tersebut, yang musti diketahui adalah mereka juga patut mendapatkan pendidikan yang sama seperti yang lain.
Berpartisipasi di NR 6 juga membuat saya membaca dan belajar tentang ICF (International Classification of Functioning), hambatan-hambatan lingkungan penyandang disabilitas, hingga konvensi-konvensi. Tidak cuma itu, seperti kawan-kawan peserta NR6 lainnya, saya juga melakukan “seru”-nya berbagai aktivitas dua bulan sebelum acara puncak. Di waktu senggang saya antusias mengotak-atik corak poster untuk ajakan donasi, setelah itu menyebarnya ke media sosial, lalu ke grup-grup WA yang saya ikuti. Ada kekhawatiran tersendiri kalau-kalau saya tidak dapat memenuhi target minimal donasi (tiap fundraiser yang tidak mencapai donasi minimal 3,5 juta, tidak bisa ikut berlari di acara utama NR6). Tapi alhamdulillah, banyak orang baik yang turut berpartisipasi mendukung program pengembangan pendidikan anak-anak disabilitas. Dari yang berdonasi dengan jumlah besar sampai bikin saya kaget, peran serta komunitas lari saya (CEO Runners), hingga peran teman lama yang sekian tahun tidak bertemu dan tidak disangka-sangka juga ikut berdonasi.
Di samping meningkatkan kesadaran khalayak tentang pentingnya kesetaraan pendidikan untuk anak-anak difabel, para peserta tentu dituntut melakukan persiapan lain berupa latihan yang memadai. Saya bersyukur bisa berpartisipasi juga dalam BTS Ultra kategori 70k tahun ini (awal November), acara lari ultra pertama saya. Jadi saya anggap event itu adalah latihan puncak saya. Walaupun jaraknya masih satu bulan lagi menuju NR6. Hehe. Paling tidak saya punya modal kepercayaan diri dalam hal jarak. Sementara latihan lain bisa saya lakukan sehari-hari. Beruntung saya punya pekerjaan dengan jam yang cukup fleksibel. Jadi di hari reguler pun saya bisa berlari 10 KM atau di atasnya. Untuk nutrisi saya tidak ambil pusing. Saya tidak punya target asupan ataupun pantangan. Saya juga tidak minum vitamin atau obat-obat tertentu.
***
Akhirnya, para peserta NR6 akan segera ambil start. Saya berangkat dari Bekasi bersama Om Berry, rekan lari saya yang mengikuti full course. Juga dengan Bib Opay dan Om Wawan, teman-teman Om Berry dari The Bearded Runners (TBR) dan Petualang Muslim (PM) yang juga jadi support team. Kami berangkat malam Jumat menuju Wonosobo. Sementara Kawan-kawan kami yang lain dari CEO Runners: Om Wiko dan Kak Jule peserta full course dan Satria beserta support team berangkat Kamis subuh. Sedangkan Kang Zul, Salman dan Masesar, sesama pelari half course, juga Mbak Wina dan Koh Yose selaku tim support direncanakan sampai Jogja Sabtu pagi. Saya berangkat dengan kawan-kawan peserta full course karena ingin turut merasakan suasana dan merindingnya titik awal perjalanan NR6.
Di perjalanan, kami kadang tertidur kadang terbangun, lalu istirahat sebentar di sebuah masjid di daerah Pemalang sambil menunggu subuh. Kata Bib Opay yang setir mobil, di jalan dia seperti melihat monster gede banget! Alias mengantuk sih. Hehe.
Sampai di rumah Mas Anton di Temanggung, teman Om Berry di PM sekitar jam 7 pagi. Minum kopi, tidur, bangun lalu minum kopi lagi, sarapan soto bening yang segar bukan main, tidur lagi, mandi, lalu makan siang. Sebetulnya saya sama sekali tidak bisa tidur. Jadi saya berjalan-jalan sebentar melihat aktivitas warga sampai ke Candi Pringapus yang jaraknya satu kilometer. Pukul 2 siang kami menemani Om Berry mengambil BIB di lokasi start di Hotel Kedung Pass Dieng. Di sana kami bertemu kawan-kawan CEO Runners serta PLDB, sesama pelari dari Bekasi. Juga tentu bersilaturahmi dengan kawan-kawan pelari lainnya dari berbagai daerah yang terlihat antusias.
Menuju jam 19:00 lokasi start semakin riuh tidak cuma oleh para pelari yang mengabadikan momen di start banner, tapi juga para pendukung. Area lalu disterilkan untuk memudahkan para pelari berdiri dan bersiap di depan. Acara pembukaan terdiri dari briefing, sambutan, pelepasan dari perwakilan anak-anak disabilitas, juga doa untuk almarhum Mas Buddy, kawan pelari yang tidak sempat melanjutkan langkahnya di NR6, tapi semangatnya masih kami rasakan.
Para pelari full course lantas akhirnya dilepas. Saya turut terharu melihat semangat mereka. Para support team pun masing-masing mengikuti di kendaraan masing-masing. Karena saya esoknya mesti berlari juga di kategori half course, jadi saya mohon diri untuk bisa beristirahat di bangku mobil paling belakang. Tapi ternyata melihat para pelari yang gigih lebih menarik ketimbang tidur. Jadi ketika teman-teman tim support CEO Runners berhenti di jalan atau di check point (CP) untuk memeriksa kebutuhan pelari, saya pun ikut turun. Kadang membantu sebisa saya. Tapi lewat tengah malam akhirnya saya tertidur, walau dengan posisi yang tidak tentu, sampai pukul 3.30 dan rupanya hujan cukup lebat.
***
Lepas dari CP 3 dan di suasana pagi Purworejo yang hening, banyak pelari yang memutuskan untuk berjalan. Tidak berapa lama hujan kembali turun dan para pelari harus menggunakan jas hujan kembali. Di CP berikutnya, banyak di antaranya yang tertidur ataupun menghadap fisioterapis. Di CP 4 primadona CEO Runners dan El Macho, Darwin tiba-tiba muncul. Dia bercerita tentang perjalanannya dengan jasa travel dan keputusannya untuk ke CP 4 karena ia berpapasan dengan pelari di jalan. Di sekitar CP, seperti biasa, banyak yang menyapa orang populer ini.
Di CP 5 Koh Yose dan Mbak Wina datang bersama Salman. Saya bisa ke CP 6 dengan segera mengingat pengambilan BIB dan pemeriksaan gear akan segera dibuka di Karangwuni. Tiba di CP 6 suasana semakin ramai dan saya semakin gugup. NR 6 ini menjadi rute lari terjauh saya dan ada kekhawatiran tersendiri di perjalanan nanti. Apalagi sesekali masih terpikirkan juga kebutuhan-kebutuhan rekan-rekan lari saya yang lain dan kondisi mereka. Mata pun terasa berat sekali karena sudah 2 malam kurang beristirahat. Dua jam sebelum start, saya coba untuk tidur di depan SD Karangwuni, tapi tetap saja tidak bisa. Jam setengah 4 saya baru bersiap. Sempat tiba-tiba bingung mau pakai kaos apa dan apa yang harus dibawa. Hampir juga BIB terlupa jika kurang hati-hati. Tapi semua kepanikan harus bisa saya kendalikan agar bisa menikmati event penting ini.
Setelah lolos pemeriksaan gear, saya langsung memasuki area start. Beruntung sekali ada Koh Yose dan Mbak Wina yang sigap membawa apapun yang terlupa saya bawa. Semakin dekat dengan waktu start, saya cuma bisa terus berdoa sesekali mengobrol dengan sesama pelari. Setiap sebelum start di berbagai event lari, selain berdoa, saya selalu coba pejamkan mata, berdamai dengan diri serta meresapi suasana agar bisa menikmati prosesnya dengan tenang. Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama, saya tahu memang tidak ada kata mundur. Maju adalah pilihan wajib.
Akhirnya perjalanan para pelari half course NR 6 dimulai.
***
Di Kilometer-kilometer awal, saya dan Masesar, rekan satu komunitas saya yang ikut half course berlari berusaha selambat mungkin dan tidak terpengaruh oleh para pelari yang memang lebih cepat. Masih ada 78 km lagi! Menuju CP 7 bertemu Kak Jule yang berlari full course sedang beristirahat. Sempat menemani ia sejenak lalu saya mohon diri untuk lanjut berlari. Suasana sore yang jingga sangat menghibur langkah kaki yang masih bisa terus berlari.
Sampai CP 7 sudah masuk waktu maghrib. Saya meminum jus jambu 2 gelas lalu salat. Setelah salat saya masuk kembali ke ruang istirahat para pelari. Kak Jule baru tiba dengan kondisi terlihat sangat lelah, maag-nya juga kambuh. Saya tunggu sejenak. Tapi akhirnya saya lanjut berlari mengingat disana masih ada support team yang siap membantu (maaf ya, Kak Jule). Di luar suasana mulai sepi karena banyak pelari sudah meninggalkan CP 7. Saya berlari pelan dan coba menyusul mereka satu persatu.
Di CP 8, Kang Zul dan Salman siap berangkat menuju CP berikutnya, sementara Masesar masih istirahat. Sup sayur di CP ini betul-betul menyegarkan. Tapi sayang sekali toilet minim. Sementara para pelari mulai melanjutkan langkah, saya masih menunggu toilet kosong. Menuju CP 9 jarak para pelari mulai berjauhan, melewati pesawahan dan di kejauhan mulai terlihat jentik-jentik lampu di badan bukit. Saya pikir, mungkin sebentar lagi tiba di bebukitan dan menanjak. Tapi ternyata jalur ke sana masih jauh dan semakin sepi. Saya cuma sesekali bertemu pelari atau dilewati pelari. Beberapa kilometer menuju CP 9, ada pagelaran ketoprak di pinggir jalan. Ini kali pertama saya menyaksikan ketoprak langsung di daerah asalnya. Saya menonton sebentar sambil sedikit merekam.
Jam 23:00 akhirnya sampai di CP 9 dengan jalur yang mulai menanjak. Disusul oleh Om Ari dan Om Martyn dari PLDB. Sementara Salman sudah tertidur. Tadinya saya memutuskan untuk tidur juga di CP ini. Tapi mengingat Subuh yang tinggal beberapa jam, saya putuskan untuk lanjut ke CP berikutnya. Sendirian.
Jalur semakin menanjak. Cahaya minim sekali. Sepi. Cuma sesekali kendaraan lewat dan marshall yang kadang lewat atau menunggu di depan. Tapi akhirnya di kondisi hening seperti ini saya bisa mendengarkan musik sepuasnya tanpa ada distorsi. Haha! Saya putar lagu-lagu Joni Mitchell, Amy Winehouse, Sade dan musisi folk dan jazz lainnya dengan alunan yang menenangkan. Saya turut menyanyikan lirik yang saya hapal, sambil berkontemplasi, tadabbur dan bersyukur saya masih diberi kekuatan hingga saat ini. Alhamdulillaah.
Jalur menuju CP 10 ini adalah jalur yang paling saya suka. Jalur yang paling bikin saya nyaman. Walaupun ada kabut tebal, jalan yang menanjak-menurun tak kunjung habis dan sekali ada suara berkerosak.
Di CP 10, sudah ada Kak Jule yang ditangani oleh tim medis, Bang Darwin dan Apri. Karena lapar, saya langsung minta tolong pada relawan untuk dibuatkan dua telur ceplok. Setelah makan, bersih-bersih badan di toilet dan ganti baju, saya memutuskan untuk tidur di CP ini. Belum lama memejamkan mata, tiba-tiba Kang Zul membangunkan. Rupanya dia mau langsung melanjutkan perjalanan. Ia bisa finish Minggu pagi jam 9:30. Semangat yang luar biasa. Tapi saya mau bobo dululah. Waktu masih panjang, pikir saya.
Jam 4 pagi saya dibangunkan oleh Salman yang kelihatan sudah sigap untuk lanjut perjalanan. Sementara saya masih bisa duduk tertidur beberapa menit, lalu bangun dan shalat subuh. Repot beberes sana sini akhirnya saya bisa melanjutkan ke CP 11 jam 5:30. Hehe.
Keluar dari CP 10 bersamaan dengan Om Ari dan Om Martyn. Dari situ sampai finish jam 12 nanti siang kami terus berjalan sambil berlari tipis bersama-sama, dengan iringan lagu lawas Indonesia 2000-an. Om coach seksi pemburu konten, Om Andry dan Mas Hery (support team dari PLDB mengiringi kami). Saya dan Om Ari masih bisa berlari tipis di turunan. Lalu berjalan di tanjakan, sambil mencari tanda RPPJ (yang Om Ari artikan “Rapopo Jalan”) yang tercetak di aspal. Sementara Om Martyn karena sedikit cidera hanya berjalan saja di belakang. Tapi tiba-tiba, menjelang CP 11, larinya malah kencang. Rupanya Mas Redy yang start dari CP 10 satu jam di belakang sudah bisa menyusul. Om Martyn tidak rela. Sekuat tenaga ia berlari agar tidak disusul Mas Redy. Tapi sayang usahanya sia-sia. Haha.
Di CP 11, setelah sarapan soto, akhirnya saya minta penanganan medis untuk blister di kedua telapak kaki dan tumit saya. Pedih. Lebih pedih lagi, padahal betis masih kuat buat dibawa berlari, tapi telapak kaki melarang. Mas Medis mencoba memecahkan blister tersebut. Tapi saya menolak. Biarkan mereka pecah secara alami, kata saya. Alhasil, sejak meninggalkan CP tersebut hanya bisa berjalan. Sesekali berlari di jalan menurun atau berusaha mengimbangi cara berjalan Om Ari yang cepat. Tiba di CP 12, yang merupakan CP bayangan, matahari semakin menyengat. Om Berry sudah bersiap meninggalkan CP diikuti oleh Bib Opay dan Om Wawan. Om Ari ke toilet dan Om Martyn makan bakso. Koh Yose menghampiri, mengabarkan kalau posisi Salman ada di 7 KM menuju finish ditemani Mbak Wina. Ia lantas kembali ke CP sebelumnya untuk menemani Masesar. Hari semakin siang. Sekitar jam 10:30 kami bertiga melanjutkan perjalanan. Berharap bisa sampai sebelum COT, mengingat kata panitia garis finish masih 12 kiloan lagi. Jauhnya! Saya pribadi berharap kami bisa finish jam 12 siang.
Di kilometer awal dari CP 12, Om Andry sang pemburu konten menyemangati kami dengan gayanya yang lucu menggemaskan dan berhasil membuat kami berlari tipis-tipis. “Yang begini nih jadi hiburan,” kata Om Martyn sambil mengarah ke cara berjalan Om Andry. Hihi.
“Ya Allah… matahari kayak di ubun-ubun,” saya membatin.
Sementara saya tidak pakai topi dan kacamata. Tapi alhamdulillaah masih bisa ditahan. Menuju garis finish kami semakin banyak berhenti. Kadang istirahat minum air dingin, kadang berhenti di bawah pohon yang rindang. Sesekali kami bisa melewati langkah pelari lain, tapi selanjutnya pelari tersebut malah mendahului kami lagi. Melihat tulisan pantai sepanjang tertera 2 km lagi tidak ada toleransi lagi untuk berhenti. Eh tapi berhenti lagi sih di pinggir jalan menanjak, cuci muka dan minum air dingin. Hehe.
Beberapa menit menuju jam 12 akhirnya garis finish di depan mata! Om Ari dan Om Martyn mengganti kaos mereka, sementara Mbak Wina sudah menunggu di pinggir jalan sambil memberikan spanduk CEO Runners. Saya ambil, lalu bersama Om Ari dan Om Martyn berlari ke garis finish. Di waktu yang singkat tersebut sempat terlintas pikiran, “Betul sudah mau finish? Nanti pas finish ngapain? Setelah finish mau melakukan apa? Apa mau tetap berlari lagi ke depannya setelah acara ini?”
Tapi beberapa langkah menuju garis finish, berbagai lintasan pikiran tersebut lenyap berganti senyum sumringah. Akhirnya kami finish!
Saya, Om Ari dan Om Martyn saling merangkul berbagi rasa syukur. Disambut oleh perwakilan anak-anak yang memberikan gelang dan bunga hasta karya, panitia, Mbak Wina dan Salman yang sabar menunggu, serta Mas Jurian yang memberikan selamat pada kami. Saya langsung mengambil jersey finisher dan konsumsi, lalu melipir ke sudut yang terlindung dari sengatan matahari di pinggir pantai. Ada kekhawatiran pada Om Wiko dan Masesar yang belum kunjung finish. Ada kabar mereka masih jauh di belakang. Tapi setengah jam menuju COT akhirnya mereka finish. Alhamdulillah.
Rasanya tidak percaya telah berhasil menuntaskan jarak sejauh ini dan finish sehat wal’afiat.
***
Saya percaya, kekuatan terbesar yang dapat mengubah suatu bangsa adalah pendidikan. NusantaRun sejak awal memiliki komitmen untuk mengembangkan pendidikan di negeri ini dan saya kagum akan hal itu. Setelah tahun lalu tidak bisa ikut acara ini, akhirnya tahun 2018 bisa berpartisipasi di kategori half course. Memang ada tantangan tersendiri dalam hal penggalangan dana dan itu sungguh tidak mudah. Kadang kesal sendiri, kenapa begitu susah membuat orang-orang berdonasi demi pendidikan. Tapi toh kekesalan itu tidak berguna. Yang penting berdoa, luruskan niat dan tetap berusaha. Insya Allah selalu ada jalan. Tidak perlu rendah diri dan menyalahkan.
Saat mendaftar NusantaRun, status saya adalah pelari yang belum pernah melakukan ultra run. Jadi walau mendaftar di kategori full course, saya diterima di half course, dan saya pikir itu peraturan yang bijak. Berlari jarak panjang bukanlah hal main-main. Perlu berbagai persiapan, baik mental dan latihan yang cukup. Banyak orang bisa saja bermental baja, tapi jangan paksakan diri jika latihan saja masih kurang. Siapa lagi yang bisa memahami tubuh kita selain kita sendiri.
Selama proses NusantaRun, saya bersyukur sekali memiliki kawan-kawan yang aktif berbagi pengalaman. Baik Kawan-kawan satu komunitas yang juga berpartisipasi di NR6 (Om Berry, Om Wiko, Kak Jule, Mas Zul, Masesar dan Salman), maupun Kawan-kawan lainnya di grup NR6 dari berbagai daerah yang tidak bosan-bosannya mengingatkan dan memotivasi. Saya juga bersyukur memiliki team support yang telaten mengurus kami (Satria, Mbak Wina, Koh Yose, Pak Agus dan Rayhan). Terima kasih banyak.
Terima kasih juga untuk segenap pendiri dan panitia NusantaRun. Semoga acara ini terus berlangsung rutin setiap tahun, semakin baik dan semakin banyak memberi manfaat.