Oleh: Berry Salasa
Sejak dulu, saya selalu kagum melihat orang-orang yang ikut andil dalam perhelatan NusantaRun—berlari ratusan kilometer, berjuang untuk pendidikan anak-anak Indonesia. Bagi saya, mereka bukan pelari biasa, tapi mereka adalah para pelari berhati mulia, para pejuang pendidikan demi kemajuan generasi penerus yang lebih baik.
Kita tahu pendidikan di negeri kita belum merata dan banyak sekali kekurangan, mengeluh saja tidak akan pernah menyelesaikan masalah, NusantaRun hadir menjadi salah satu gagasan brilian yang bisa menjadi wadah para pelari untuk bisa berkontribusi. Tidak perlu menunggu kaya untuk bisa berbagi dan tidak perlu menunggu jabatan tinggi untuk bisa membuat perubahan.
Satu tahun yang lalu berlari ratusan kilometer mungkin masih sebuah mimpi buat saya , berlari puluhan kilometer saja rasanya begitu menguras tenaga, tapi setiap saya mendengar cerita teman-teman tentang event NusantaRun, selalu membuat hati bergairah, dan menyisakan pertanyaan dalam benak, “Mungkinkah saya sanggup berjuang seperti mereka? Atau ini hanya akan menjadi impian yang tak pernah menjadi kenyataan?”
Bulan September, Senin sore Jakarta sedang diguyur hujan, jam menunjukan pukul 17:35 rekan-rekan kerja sudah mulai pulang, suasana kantor mulai sepi, sambil membuat secangkir kopi hangat menunggu hujan reda saya melihat Youtube. Di halaman depan layar tertulis “Nusantarun Chapter 5,” lalu saya klik kali petama saya nonton video ini sungguh membuat mata berkaca-kaca, rasa antusias mulai bangkit lagi, jantung berdegup cepat, entah mengapa beberapa kali saya menonton video itu rasanya tetap sama, selalu saja berhasil membuat mata saya berkaca-kaca, seperti ada chemistry yang klop dengan diri saya, seperti ada vibrasi dan frekuensi yang sama di hati saya dan seperti menemukan sebuah petunjuk bahwa ada panggilan jiwa untuk menjemput sebuah mimpi yang selama ini tertunda. Saya yakin ini adalah pertanda bahwa saya harus bersiap untuk sebuah petualangan baru, menjadi salah satu pejuang pendidikan di Nusantarun 6.
Antusias vs Bimbang
Saat mendapat info bahwa pendaftaran NusantaRun dibuka, ada rasa bimbang untuk menentukan kategori mana yang harus saya pilih, half atau full course. Walaupun gejolak tak tertahankan sampai ke ubun-ubun untuk segera mendaftar namun saya berusaha menahan diri menunggu sampai beberapa minggu ke depan, kebetulan sebentar lagi saya ikut Bandung Ultra 100km, saya merenung cukup lama dan berjanji jika saya mampu finish di BDG Ultra maka saya akan daftar NusantaRun dengan kategori full course dan bila saya gagal menamatkannya maka saya harus realistis dengan kemampuan saya, sebaiknya mendaftar yang half saja.
Ternyata semangat untuk bisa ikut NusantaRun membantu mental saya dalam menghadapi tantangan di BDG Ultra, saya berhasil menjadi finisher di event ini. Sesuai dengan perjanjian yang pernah terucap, akhirnya saya mendaftar sebagai peserta dengan katogori full course. Lega rasanya setelah mengetahui bahwa saya lolos kualifikasi sebagai pelari kategori full course. Namun rasa bimbang kembali hadir “169 km adalah jarak terjauh yang akan saya tempuh dalam hidup saya, butuh latihan yang lebih keras untuk bisa melewati tantangan ini.”
Everyday is Training Day
Saya punya sebuah prinsip yang selalu saya ingat.
“Lebih baik berpeluh keringat saat latihan daripada berpeluh airmata saat pertandingan.”
Kata-kata ini hasil perenungan saya setelah melalui ultra marathon KRB 50km dan Tugu to Tugu 55 km, dari dua race ini saya tidak bersungguh-sungguh menjalani progam latihan, alhasil walaupun mampu menamatkan race tersebut, namun saya harus mengalami rasa sakit dan cidera, begitu tertatih-tatih untuk bisa menyelesaikannya, rasanya ingin meneteskan air mata menahan perih. Sungguh pengalaman yang sangat berharga untuk diambil pelajaran, sejak saat itu saya kapok dan berjanji tidak akan malas lagi dalam menjalani program latihan.
Untuk mempersiapkan NusantaRun 6 ini saya menggunakan program latihan yang saya dapatkan dari TNF Outdoor Training. Ini program latihan yang sangat efektif menurut saya, karena berhasil membantu saya menamatkan BDG ultra 100km tanpa cidera dan bisa finish bahagia.
Setiap hari dari Senin hingga Jumat berlari 3 kali sehari. Pagi, siang, malam masing-masing 30 menit per sesi, dengan target Heart Rate zona 2 (aerobic pace) ditambah TNF Drill setiap pagi.
–
Hari selasa sampai Jumat setiap malam melakukan universal strength, animal flow, flexibility, iron strength dilakukan masing-masing bergantian.
–
Hari sabtu long run.
–
Hari Minggu workout TNF di GBK atau long run.
–
Dua minggu menjelang event, anak saya terkena cacar dan menular ke semua anggota keluarga yang lain. Anak 1,2,3 dan juga istri terkena cacar, ini cobaan yang berat untuk saya, dalam hati saya berkata, “Bila saya ikut tertular cacar, saya akan mengundurkan diri dari NusantaRun.” Saya pasrah saja mengikuti takdir. Kini program latihan terasa semakin berat karena membutuhkan banyak waktu dan energi untuk mengurus semua anggota keluarga yang sakit, akhirnya saya berusaha untuk mensiasati jadwal latihan, saya bangun lebih pagi, berlatih saat mereka masih terlelap tidur dan untuk sesi malam saya berlatih ketika mereka sudah tidur.
Saya sangat bahagia bisa menjadi anggota keluarga NusantaRun. Event ini sungguh unik, baru kali ini saya merasakan sebuah ikatan emosional terhadap sebuah event lari. Menjadi seorang fundraiser dengan membuat sebuah tim untuk membantu saya mengumpulkan donasi, mengajak orang-orang untuk mau ambil bagian menjadi donatur untuk pendidikan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Flyer ajakan berdonasi pun menyebar menjadi sebuah pesan berantai di medsos, di semua grup WA dan telegram. Banyak orang yang tidak saya kenal ikut berdonasi di link saya, sebuah kekuatan kontribusi dari banyak pihak yang membuat acara ini begitu berkesan.
Tiga Hari untuk Selamanya
Akhirnya hari yang dinanti tiba. Kaki ini sekarang berdiri di garis start bersama puluhan pelari lainnya, ditemani bulan yang bersinar tak terlalu terang malam ini dan dinginnya udara Dieng mulai menyapa lembut tubuh para pelari.
Saat Bang Jurian dengan rasa haru mengumumkan jumlah donasi yang terkumpul sudah lebih dari 2 miliar dan juga adik-adik yang menyandang disabilitas membagikan rangkaian bunga hasil karya mereka sendiri, ini membuat semangat saya semakin berapi-api dan berjanji pada diri, saya akan melewati 3 hari yang tidak akan saya lupakan selama hidup saya.
Semoga malam ini akan menjadi saksi bahwa kaki ini pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, saya berharap ini akan menjadi catatan amal kebaikan untuk saya nanti di akhirat.
Bendera start telah dikibarkan para palari mulai berlari diiringi suara Tulus melantunkan Manusia Hebat. Jalanan yang dilalui banyak sekali turunan membuat telapak kaki saya merasa panas di bagian telapak depan, sesampainya di CP1(KM 16.3) para pelari hanya singgah sebentar untuk minum dan kembali berlari, namun saya memutuskan untuk berhenti sebentar membalut kaki dengan plester dan mengganti sepatu, lebih baik mengantisipasi dari awal sebelum blister.
Menuju ke CP2 hujan mulai turun, semua pelari memakai jas hujan, sebenarnya saya paling tidak suka berlari dengan jas hujan karena hawa tubuh terasa panas dan juga gesekan plastik dibagian kepala membuat suara yang berisik di telinga, risih namun harus tetap dijalani. Sesampainya di CP2 (KM 32.6) berupa area lapangan bulu tangkis indoor di desa Burat, rasa kantuk tak tertahan lagi, ini mungkin karena perjalanan dari Jakarta menuju Dieng yang dilakukan hanya semalam sebelum event, membuat waktu istirahat saya sangat kurang. Saya memutuskan memasang alarm di jam tangan dan tidur selama 30 menit, lumayan untuk menghilangkan micro sleep. Kemudian saya kembali memakai sepatu dan melanjutkan perjalanan.
Perjalanan menuju CP3 ternyata hujan tak kunjung berhenti, jalur yang saya lewati mulai sepi, jarak pelari mulai berjauhan. Sesampainya di CP3 (KM 47) saya melihat banyak pelari yang mulai kelelahan, banyak sekali pelari yang antri untuk diterapi oleh para physiotherapyst. Adzan subuh berkumandang, sebagian pelari mulai mendirikan salat sebelum melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, saya bisa merasakan lari dipagi hari menuju Purworejo, sebuah kota yang nyaman, tenang jauh dari hingar bingar seperti kota Jakarta, namun hujan masih saja datang dan pergi menemani para pelari disepanjang perjalanan, sesampainya di CP4 (KM 58) tim support saya kang Wahid dan Habib Opay sudah menyiapkan makanan istimewa untuk saya sarapan yaitu sepiring spaghetti bolognese ditambah 2 butir telur rebus ayam kampung , ini spaghetti terenak yang penah saya makan, sungguh membuat semangat kembali hadir mendampingi saya untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya.
Di CP5(KM 72.5), saya sempat diterapi untuk melemaskan otot kaki yang mulai tegang setelah itu kembali melanjutkan menuju CP 6. Saya hanya bertemu dua pelari sepanjang perjalanan, rasanya bahagia sekali bisa melihat pelari yang senasib sependeritaan. kita saling menyapa dan berbagi banyak cerita, cuaca mulai panas dan terik sekali, pakaian yang basah terkena hujan sudah mulai kering sendiri.
Perut sudah mulai lapar lagi bayang-bayang soto ayam dan nasi hangat sudah mulai menghiasi pikiran, saya mengabarkan tim support untuk menyiapkan soto ayam untuk makan siang. Sesampainya di CP6 (KM 83), para pelari kategori half course sudah mulai ramai, seneng sekali melihat sahabat-sahabat dengan wajah yang masih berbinar-binar penuh semangat, seperti menularkan semangat baru untuk saya yang telah berjuang setengah perjalanan. Di CP ini cukup lama saya beristirahat, melahap habis soto ayam, kemudian mandi, shalat dan sebelum para pelari half berdiri di garis start saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Perjalanan menuju CP7 daerah Kulon Progo pemandangannya cukup indah, pematang sawah yang membentang disebelah kiri jalan cukup menghibur saya, dijalur ini saya banyak bertemu para pelari half course, senang melihat mereka dengan tenaga yang masih penuh dan langkah lari yang masih stabil “selamat berjuang temen-temen simpan tenaga baik-baik perjalananmu masih panjang,” ucapku dalam hati. Sesampainya di CP7 (KM100), saya langsung bergegas salat maghrib dan makan kacang hijau, mengisi air dan segera melanjutkan perjalanan.
Hari mulai gelap jalur yang kami lewati saat ini adalah jalan raya perkotaan, kendaraan cukup ramai, sampai di CP8(KM 110.7) di daerah Bantul tempat terlihat penuh banyak pelari half dan full yang beristirahat dan diterapi, saya menyempatkan diri untuk di terapi, kemudian melanjutkan kembali misi ini.
Perjalanan selanjutnya tidak hanya terasa berat di kaki, tapi juga begitu terasa berat di pelupuk mata, sesekali berjalan sambil menutup setengah mata, langkah mulai goyang karna kantuk yang tak tertahankan, di tengah malam seperti ini terdengar suara alunan lagu jawa dari kejauhan “mungkin saya berhalusinasi karena mulai lelah” pikiran saya menerka, namun suara musik jawa itu semakin kencang terdengar, saya bertanya kepada pelari yang saya temui dijalan, ternyata dia juga mendengar suara yang sama. Menurut dia, itu suara pertunjukan wayang orang dan biasa diadakan sampai tengah malam. Saya sempet bertemu pelari yang sedang duduk dipinggir jalan sambil membungkuk, yang kemudian saya sapa dan bertanya, “Kenapa mas? Baik-baik saja kan?” Dia menjawab, “Duh ngantuk banget mas saya ga kuat, mau tidur sebentar di sini.” Akhirnya saya mengajaknya berjalan bersama sambil berbincang untuk menghilankan rasa kantuk.
Sampai di CP9 (KM 127,1) daerah Imogiri, saya melihat banyak sekali pelari yang sedang tidur di sini, rencana saya ingin istirahat tidur juga di sini namun melihat padatnya tubuh para pelari yang bergelimpangan tidur di lantai tak beraturan akhirnya saya berniat istirahat di CP 10 saja.
Jarak dari CP9 ke CP10 di peta hanya 7km ini adalah jarak terpendek dibandingkan CP lain, namun ini menjadi perjalanan terlama untuk ditempuh selama di NusantaRun. Jalan mulai menanjak terus tidak ada hentinya, di kanan dan kiri jalan adalah hutan. Suasana sangat sepi dan ini adalah malam yang paling gelap untuk dilewati, jarak pandang begitu terbatas, sumber cahaya hanya mengandalkan headlamp yang kita bawa. Saat saya mencoba mematikan headlamp, saya hanya bisa melihat beberapa langkah jalan di depan saya saja. Seharusnya saya tadi memang tidur di CP9 untuk menghimpun kembali tenaga, tapi sekarang malah harus menghadapi tanjakan dengan tenaga seadanya, nasib baik saya bawa tracking pole yang mampu meringankan perjalanan malam ini. Lelah dan kantuk begitu berat terasa, tanjakan, hutan dan malam yang gelap seakan begitu panjang dan tak pernah usai dilalui, tiba-tiba saya cukup terkejut melihat cahaya terang dari bangunan megah sangat indah, terdapat menara yang menjulang tinggi dengan mobil sport bertengger di atasnya. Saya berucap dalam hati, “Jangan-jangan saya berhalusinasi karena terlalu lelah.” Saya melihat di sekitar ternyata ada tim support saya sedang menunggu di dekat sana, saya menghampiri dan beristirahat sambil memandang bangunan itu ternyata ini adalah sebuah tempat wisata technoparck dengan menara replika mobil listrik karya anak Indonesia.
Sesampainya di CP10 (KM 134,7) adzan subuh berkumandang, selesai melaksanakan salat ternyata rasa kantuk mulai hilang, dan perjalanan di hari ketiga harus dimulai. Masih 34 km lagi yang harus dilewati untuk menuju garis finish, dan hanya tersisa 7 jam lagi waktu COT. Tim support saya melihat live tracker di web NusantuRun untuk update posisi para pelari, ternyata saya berada di urutan ke 7 untuk kategori full course. Saya sejenak berpikir bila saya berada diposisi 7 berarti masih banyak sekali peserta yang ada dibelakang saya sementara waktu sangat mepet sekali. Akhirnya, saya memutuskan di CP 11 dan CP12 hanya singgah untuk melapor ke petugas saja kemudian melanjutkan perjalanan.
Menuju garis finish, jalur yang dilewati naik dan turun, cuaca sangat panas karena sudah mulai memasuki daerah pesisir pantai. Rata-rata pelari sudah mulai jalan saat menuju finish, ada yang berjalan pincang, ada yang masih menggunakan trecking pole, paras wajahnya jelas sekali menahan perih, sampai akhirnya saya memasuki area wisata dan melihat balon gate bertuliskan finish, orang-orang sangat ramai, memberikan tepuk tangan dan semangat kepada para pelari yang datang, akhirnya saya berhasil melintasi garis finish dengan seribu perasaan bercampur aduk didalam hati. Seorang anak penyandang disabilitas menghampiri saya memberikan bunga dan gelang, kemudian bang Riefa Istamar memberikan jersey bertuliskan Finisher NusantaRun 169 km. Ternyata dari total 87 pelari kategori full course hanya 41 pelari yang mampu finish di bawah waktu COT. Sungguh perjalanan yang berat untuk dilewati.
Untuk saya NusantaRun bukan sekadar seberapa jauh kita berlari. Juga bukan sekadar seberapa kuat kaki ini melangkah menuju garis akhir. NusantaRun menurut saya tentang seberapa jauh kepedulian kita dan seberapa kuat hati ini mau berjuang demi kemajuan pendidikan di negeri sendiri.
Terima kasih untuk semua orang yang sudah terlibat dalam acara ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.